Ketua Tim Hukum Amin, Ari Yusuf Amir. (Foto: dok.pribadi/istimewa)
JAKARTA — Sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK) RI dipenuhi berbagai pembuktian sehingga menguatkan seluruh dalil yang diajukan oleh Tim Hukum Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Amin). Hal itu membuktikan dugaan kecurangan yang dilakukan paslon 02 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dalam bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi.
“Pengkhianatan itu membuat asas-asas pemilu khususnya asas bebas, jujur, dan adil sebagai amanat Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 terberangus dalam Pilpres 2024. Demokrasi di Indonesia pun terancam di ujung tanduk,” kata Ketua Tim Hukum Amin, Ari Yusuf Amir, dalam siaran persnya, Selasa (16/4/2024).
Dalam persidangan di MK, lanjut Ari, Tim Hukum Amin mampu membuktikan secara gamblang berbagai kecurangan. Ini mulai dari tidak sahnya pendaftaran paslon 02, lumpuhnya independensi penyelenggara pemilu di hadapan penguasa, terjadinya sikap dan perilaku nepotisme dari lembaga kepresidenan yang menguntungkan paslon 02, pengangkatan penjabat kepala daerah secara masif dan ditujukan untuk pemenangan paslon 02, penjabat kepala daerah yang menggerakkan struktur di bawahnya, keterlibatan aparat negara, pengerahan kepala desa dan perangkat desa, dan politisasi bansos.
“Serta beberapa pelanggaran prosedur dan kecurangan melalui sistem IT Pemilu,” jelas Ari.
Kemampuan Tim Hukum Amin, sambung Ari, membuktikan seluruh dalil yang diajukan di hadapan persidangan akan memudahkan MK sebagai the safeguard of democracy untuk memutus mata rantai kecurangan yang bersifat terukur dan spesifik tersebut agar daulat rakyat dalam proses demokrasi dimuliakan dalam Pilpres. “MK tentu akan bertindak melalui putusannya untuk menegakkan keadilan substantif (substantive justice) yang diirobek-robek oleh paslon 02,” tegas dia.
Ari lantas mengingatkan, dalam beberapa putusan MK pada pemilukada terhadap calon yang tidak sah/atau tidak memenuhi syarat, MK secara tegas mendiskualifikasi dan membatalkan keputusan KPU yang memenangkan calon tersebut. “MK kemudian memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang, tanpa diikuti calon yang tidak memenuhi syarat tersebut,” ungkap dia.
Sebagaimana dalam putusan No. 145/PHP.BUP-XIX/2021 pada pemilukada Kabupaten Yalimo, Putusan No. 132/PHP.BUP-XIX/2020 pada Pemilukada Boven Digoel, Putusan No. 57/PHPU.D-VI/2008 pada pemilukada Bengkulu Selatan, dan Putusan No. 12/PHPU.D-VIII/2010 pada Pemilukada Tebing Tinggi. “Keempat putusan tersebut secara tegas menyatakan, tidak terpenuhinya syarat pencalonan mengakibatkan dibatalkannya pencalonan meskipun proses pemungutan suara sudah selesai,” jelas Ari.
Beberapa putusan tersebut, lanjut Ari, sejatinya menjadi yurisprudensi MK dalam menangani perselisihan hasil pemilu. Mengingat keduanya (pilpres dan pilkada) sama-sama bagian dari rezim pemilu. Sebagaimana Putusan MK Nomor 85/PUU-XX/2022 yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan antara rezim pemilihan umum kepala daerah dengan pemilihan umum anggota legislatif serta pemilihan umum presiden dan wakil presiden.
“Kini di pundak MK, pengkhianatan terhadap konstitusi dalam Pilpres 2024 ini akan diputus,” kata Ari menandaskan.